BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, 30 Januari 2010

MEMBEDAH TEORI ATEISME


I. Latar Belakang
Jika kita mendengar kata atheis maka kesan pertama yang mungkin muncul di benak orang adalah tidak bertuhan, komunis ataupun tidak bermoral. Sangat mengerikan jika kita bayangkan kejadian G30SPKI yang telah membantai jendral besar Indonesia dan pelakunya di dasari oleh ideology Komunis sangat dekat dengan ateis. Biasanya kalau kita membahas tentang moral pasti dihubung-hubungkan dengan Tuhan atau theis, karena tuhan adalah sumber dari aturan-aturan dan tata cara berlaku baik, kalau percaya dengan tuhan maka harus mentaati aturanNya dan pasti tingkah lakunya selalu baik. Benarkah penyataan itu berlaku sampai sekarang ? kelihatannya pernyataan itu tidak selamanya benar kalau kita mengamati fenomena sekarang ini, banyak orang yang bertuhan tetapi kelakuannya lebih parah dari orang ateis, orang yang sangat mengerti agama malah terjebak kasus kriminalitas, korupsi dan lain sebagainya. Negara yang sangat tinggi tingkat keberagamaannya diimbangi juga semakin tingginya angka kejahatan, pembunuhan, pelanggaran hukum, pencurian, pelanggaran moral dan lain-lain. Jika kita lakukan surfei pasti didapati hasil yang menyatakan bahwa pelaku pelanggaran adalah mayoritas beragama. Lalu bagaimana dengan pernyataan di atas, apakah ateis masih selalu diidentikkan dengan perbuatan amoral, kelihatannya aturan agama semakin dibuat gampang, apakah ada kesalahan dari aturan tuhan ataukah manusianya yang salah.
Selain masalah itu kita juga sering salah menyebut orang ateis, ternyata ateis itu bukan hanya sebutan bagi orang-orang yang tidak percaya adanya tuhan saja, seorang yang ateis juga bukan berarti orang yang tidak punya agama justru sekarang ada agama secara terbuka yang menyatakan dirinya ateis misalnya yahudi ateis atau yahudi humanis dan Kristen ateis dan keduanya sangat menarik banyak orang untuk memeluknya. ateis juga bermacam-macam, agama Buddha Theravada tidak memiliki kepercayaan terhadap tuhan, dan agama tersebut juga disebut sebagai ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme, rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis. bahkan umat hindu juga menyebutkan dirinya sebagai ateis, sebelum menggolongkan seseorang menjadi ateis, sebaiknya kita tengok asal usul penggunaan sebutan itu, jaman dahulu pada akhir abad ke-18 di Eropa Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri", utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis. Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)". Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.
Ateisme juga sangat berkaitan erat dengan materialisme, sama-sama tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti hantu, setan malaikat dan hal ghaib. Hidup modern yang serba rasional dan menganut paham materialisme pasti tidak percaya hal yang tidak terlihat terasa oleh indra, maka tidak percaya juga dengan keberadaan tuhan, anehnya justru Negara yang tinggi angka ateismenya justru lebih modern, menurut analisa para ahli itu disebabkan karena doktrin agama dapat menyebabkan orang menjadi tidak ingin berusaha dan selalu pasif karena mengharapkan pertolongan Tuhan, dan ateis berusaha mengubah dengan segala kemampuannya tanpa campurtangan tuhan, karena ia menganggap tuhan sudah tidak ada. Maka dengan ini kita berusaha memecahkan suatu problem yang ada tentang ateis termasuk juga hubungannya dengan matrerialis.

II. Ateisme
Dari segi bahasa ateisme berasal dari bahasa Yunani kuno, kata atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai digunakan untuk penolakan tuhan yang disengajakan dan banyak digunakan pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs ), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif. Penulis Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach adalah salah seorang pertama yang menyebut ateis untuk ketidak percayaan pada tuhan monoistik
Menurut istilah ateis adalah tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
Ateisme lahir dari sejarah yang panjang, sebagai salah satu anak dari modernisme. Meskipun cikal bakal ateisme sebenarnya sudah muncul dari Xenophanes di zaman Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa dewa-dewa yang ada hanyalah gambaran manusia saja dan tidak mungkin dewa yang agung kelakuannya sama dengan manusia, modernisme tetap menjadi ibu kandung dari ateisme, terlebih ateisme yang menjadi lawan dari teisme, khususnya teisme versi Yudeo-Kristiani.
Dalam versi islam awal munculnya ateis adalah perdebatan dengan kaum zindiq dan mu’tazilah.

III. Klasifikasi Ateisme
Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Para filsuf seperti Antony Flew, Michael Martin, dan William L. Rowe membedakan antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang tidak mempercayai agama atau tuhan dapatlah ateis yang lemah ataupun kuat. Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru, namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi dan apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda). Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.

IV. Dasar Pemikiran
A. Ateisme Praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, juga sering disebut apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting dan tidak berguna, tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Tuhan hanya tidak masuk dalam kehidupan manusia, Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau mempercayainya.
Ateisme praktis dapat berupa Ketiadaan efek motivasi religius, dapat diartikan kepercayaan pada tuhan justru tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya.
Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis. Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama dan Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.

B. Ateisme Teoritis
Ateisme teoritis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoritis untuk menolak keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.

1. Argumen epistemologis dan ontologis
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Pemikiran agnostisisme yaitu tuhan dianggap berada diluar cakupan filsafat, hal adanya tuhan dianggap tidak dapat diketahui secara filosofis. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan, ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan agnostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakpahaman terhadap istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.

2. Argumen metafisika
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.
Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah kejahatan. David Hume dalam bukunya Dialogues concerning Natural Religion (1779) mengutip argumen Epikouros dalam bentuk sederet pertanyaan" Apakah Tuhan berniat mencegah kejahatan, namun tidak dapat? maka apakah ia impoten. Apakah ia dapat, namun tidak berniat? Maka apakah ia berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah kejahatan?"

3. Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi
Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis.
Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels juga dipengaruhi oleh karya Feuerbach, mereka berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan, ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka perlu dihapus."

4. Argumen logis dan berdasarkan bukti
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.
Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan di mana welas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, sebagai pendiri Agama Buddha.

5. Argumen antroposentris
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengijinkan individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.
Argumen Blaise Pascal merupakan salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme dia memaparkan bahwa menolak keberadaan Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki dasar etika, atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.

V. Hubungan Ateis dengan Moral
Kalau kita melihat kenyataan sekarang ini banyak yang memfonis orang ateis pasti identik dengan orang yang tidak bermoral, sebenarnya para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, nilai moral universal bisa didapat dimana saja tidak harus diperoleh dalam doktrin dan aturan agama, bahkan didalam mata hati setiap orang pasti mengatakan bahwa yang tidak baik tidak boleh dilakukan .dipungkiri atau tidak itu memang dapat dirasakan. Menurut Newman dalam suara hati kita menyadari bahwa kita berkewajiban mutlak untuk melakukan yang baik dan benar dan menolak yang tidak baik dan tidak benar. Jadi tidak selamanya moralitas memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.
Pemikiran bahwa Tuhan tidak ada tidak berarti juga berpikir bahwa manusia bebas melakukan apapun. Ateisme hanyalah suatu keadaan sebatas ”tidak percaya bahwa Tuhan ada”, tidak lebih dari itu. Tidak ada jaminan bahwa seorang ateis akan berbuat semaunya, seperti juga tidak ada jaminan seorang beragama dan percaya pada Tuhan akan berbuat baik.
Seorang ateis banyak juga terbukti menjadi seorang humanis. Tetapi ada juga mereka yang menjadi sadis seperti Josef Stalin yang terbukti membunuh 30 juta jiwa rakyatnya sendiri (walaupun perlu ditekankan bahwa yang kekejaman yang dilakukan Stalin bukan semata karena ketidak percayaannya kepada tuhan namun karena ideologi komunisme yang ia selewengkan), maupun menjadi seperti Voltaire yang memperjuangkan kebebasan rakyat jelata Prancis dari kungkungan penguasa pemerintahan dan penguasa agama yang absolut.
Ateisme sama sekali berbeda dengan Komunisme. Komunisme pada umumnya ateis, tetapi ateis tidak berarti komunis. Komunisme adalah sebuah sistem pemikiran yang dapat dikembangkan menjadi ideologi dan bahkan sistem pemerintahan, sementara ateisme merupakan sistem ke(tidak)percayaan begitu juga Agnostisisme berbeda dengan ateisme. Kata-kata yang dipopulerkan oleh T.H Huxley ini artinya tidak mengetahui apakah Tuhan ada atau tidak. Sementara ateisme tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Memang hampir mirip tetapi sekali lagi ditegaskan bahwa keduanya tetap berbeda.
Baggini berargumen bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta yang kurang subyektif dan ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, dalam agama A terdapat perintah "umat agama A haruslah mencuri" kita pasti mengetahui bahwa mencuri adalah amoral jika suatu agama yang memerintahkannya maka umatnya harus mentaati sehingga perbuatan tersebut menurut pandangan umatnya itu baik, disinilah letak keuntungan ateis dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.

VI. Kaitan antara Ateisme dengan Materialisme
Materialisme karakteristiknya adalah materi itu absolut, materi tidak terbatas dan segala sesuatu terdiri dari materi, jadi kalau materi dijadikan paham maka segala sesuatu didasari dengan kenyataan terlihat oleh mata dan ada wujudnya. Masalah tuhan, malaikat, jin merupakan hal yang ghaib tidak ada wujudnya dan tidak tampak. Jadi agama yang mempunyai keyakinan terhadap benda-benda tidak kasat mata tidaklah sesuai dengan paham materialisme, orang yang mempercayai paham tersebut tidak percaya adanya agama yang mengimani sesuatu yang nonmaterial jadi dapat dikatakan masuk kedalam ateisme, oleh sebab itu materialisme selalu dihubungkan dengan ateisme. Materialisme dapat dikatakan seperti ateisme karena bentuk dan substansinya sama-sama tidak mengakui adanya tuhan.
Terdapat beberapa dasar ideologi tentang paham materialisme ini, diantaranya yaitu tidak meyakini adanya alam ghaib, menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu, memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam meletakkan hukum, menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq.
Negara-negara maju kebanyakan pemikirannya didominasi oleh paham ini, masyarakatnya mayoritas mempunyai pemikiran tidak mempercayai hal yang immaterial karena seperti tuhan, dewa penyelamat, malaikat menurut mereka merupakan sesuatu hayalan yang hanya bisa membuat orang manja dan berharap-harap akan dapat pertolongan yang tidak mungkin, jika orang yang berpaham materialisme akan berusaha untuk merubah dengan segala tabiat kemanusiaannya berdasarkan hal yang rasional dan berwujud. Dan nyatanya kehidupan yang dengan tanda kutip sekular ini banyak berhasil dalam modernisasi dan kemajuan. Jadi tidak selamanya ateis dan materialistis merugikan dalam kenyataan pernyataan itu terbukti banyak benarnya.

VII. Fenomena ateis pada saat ini
Ateis adalah tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan Bertambah maju suatu negara ataupun daerah semakin maju pula pemikiran masyarakatnya sehingga serba rasional dan materialistis, pemikirannya menjurus juga pada sekularistik dan ateisme, kenyataannya semakin maju suatu negara penduduknya yang ateis juga bertambah, dapat diamati bahwa semakin sekular pemikirannya kemungkinan besar mudah masuk ke ateis. dapat kita bayangkan sekarang ini jika semuanya negara maju maka pasti ateis menjadi sangat besar dan bahkan prosentasenya mengimbangi yang jumlah orang beragama. Dan untuk hal itu apakah perlu dibuatkan agama ateis? Tapi jangan salah semua negara belum majupun agama ateis sudah ada misalnya seperti yang sudah saya sebutkan diatas diantaranya yaitu yahudi ateis atau yahudi humanis dan kristen ateis. Dapat diperkirakan juga jika seluruh belahan dunia ini sama-sama berfikiran rasional maka banyak juga agama ateis baru yang akan muncul. Lalu letak tuhan akan dipertanyakan dan buku tuhan telah mati kembali diterbitkan.
Menurut pengalaman sahabat-sahabat yang mengamati ateis di luar negeri kebanyakan orang yang memeluk ateis jika diadakan survei tidak mau menyebutkan dirinya sebagai ateis hal itu dikarenakan adanya diskriminasi dan stigma sosial bahkan penganiayaan, ternyata kedudukan ateis masih dinomorduakan, dengan kata lain ateisme belum diakui oleh dunia. Orang yang secara terang-terangan menyatakan dirinya sebagai ateis akan dikucilkan oleh masyarakat di sekitarnya, oelh sebab itu mereka tetap menyatakan memeluk salah satu agama resmi walaupun sebenarnya tidak punya keyakinan terhadap tuhan agama manapun, kalau di indonesia istilah akrabnya Agama KTP.
Kalau kita menganalisa bahwa ateis ternyata tidak selamanya murni dari keyakinan pribadi, peran serta lingkungan luar juga dapat mempengaruhi orang itu menjadi ateis atau tidak misalnya orang yang hidup dari latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada orang yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras itu lebih cenderung ke arah ateis. Selain itu tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi sehingga timbul pernyataan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.
Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa. Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik. Dari sini dapat dilihat bahwa keberadaan ateisme tidak bisa diabaikan.

VIII. Kesimpulan
Materialisme karakteristiknya adalah materi itu absolut, materi tidak terbatas dan segala sesuatu terdiri dari materi, jadi kalau materi dijadikan paham maka segala sesuatu didasari dengan kenyataan terlihat oleh mata dan ada wujudnya. sebenarnya para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, nilai moral universal bisa didapat dimana saja tidak harus diperoleh dalam doktrin dan aturan agama, Masalah tuhan, malaikat, jin merupakan hal yang ghaib tidak ada wujudnya dan tidak tampak. Jadi agama yang mempunyai keyakinan terhadap benda-benda tidak kasat mata tidaklah sesuai dengan paham materialisme, orang yang mempercayai paham tersebut tidak percaya adanya agama yang mengimani sesuatu yang nonmaterial jadi dapat dikatakan masuk kedalam ateisme, oleh sebab itu materialisme selalu dihubungkan dengan ateisme. Materialisme dapat dikatakan seperti ateisme karena bentuk dan substansinya sama-sama tidak mengakui adanya tuhan.
Bertambah maju suatu negara ataupun daerah semakin maju pula pemikiran masyarakatnya sehingga serba rasional dan materialistis, pemikirannya menjurus juga pada sekularistik dan ateisme, kenyataannya semakin maju suatu negara penduduknya yang ateis juga bertambah, dapat diamati bahwa semakin sekular pemikirannya kemungkinan besar mudah masuk ke ateis.
Kalau kita menganalisa bahwa ateis ternyata tidak selamanya murni dari keyakinan pribadi, peran serta lingkungan luar juga dapat mempengaruhi orang itu menjadi ateis atau tidak misalnya orang yang hidup dari latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada orang yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras itu lebih cenderung ke arah ateis. Selain itu tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi sehingga timbul pernyataan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan semakin mengertinya orang itu semakin kuat kemungkinannya untuk meremehkan suatu hal khususnya agama.





DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Jais, Hartono. 2006. Ada Kemurtadan di Iain. Jakarta : Pustaka al Kautsar.
Badawi, Abdurrahman. 2003. Sejarah ateis Islam penyelewengan, penyimpangan, kemapanan Ter. Khoiron Nahdiyyin. Yogyakarta : LKiS.
Leahy, Louis. 1997. Aliran-aliran ateisme tinjauan kritis. Yogyakarta : kanisius.
Leahy, Louis. 1997. Aliran-aliran besar ateisme tinjauan kritis. Jakarta : PT. PBK. Gunung Mulia.
Magnis, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta : Kanisius.

0 komentar: